KONSEP DIRI DAN PERCAYA DIRI
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kemajuan masyarakat modern dewasa ini, tidak mungkin
dapat dicapai tanpa kehadiran institusi pendidikan sebagai organisasi yang
menyelenggarakan pendidikan secara formal. Kegiatan pendidikan yang berlangsung
menempatkan institusi ini sebagai salah satu institusi sosial yang tetap eksis
sampai sekarang. Proses pendidikan yang berlangsung, mempunyai ukuran
standarisasi dalam menilai sejauh mana pengetahuan dan keterampilan mahasiswa
tercapai.
Dalam situasi belajar yang sifatnya kompleks dan
menyeluruh serta melibatkan interaksi beberapa komponen, sering ditemukan
mahasiswa yang tidak dapat meraih prestasi akademik yang setara dengan
kemampuan intelegensianya. Karena pada dasarnya prestasi akademik merupakan
hasil interaksi dari berbagai faktor yang berbeda antara satu individu dengan
individu lainnya.
Konsep diri salah satunya, konsep diri
mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, seperti
karakteristik pribadi, motivasi, kelemahan, kepandaian, dan lain sebagainya.
Konsep diri dalam penelitian ini merupakan pandangan pengetahuan atau evaluasi
mengenai diri sendiri yang mencakup dimensi fisik, karakteristik, pribadi,
kelebihan dan kelemahan yang berpengaruh terhadap tingkah laku individu.
Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi konsep diri yang
dimiliki oleh seorang siswa, sebaliknya semakin rendah skor yang didapat, maka
semakin rendah konsep diri seorang siswa tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari konsep diri?
2. Apa saja faktor-faktor konsep diri ?
3. Bagaimanakah teori tentang konsep diri ?
4. Apa saja ciri-ciri siswa yang memiliki konsep diri ?
5. Bagaimana pentingnya konsep diri dalam proses belajar ?
C. Tujuan
1.
Mahasiswa mengetahui pengertian konsep diri menurut beberapa ahli.
2. Mahasiswa mengetahui
faktor-faktor konsep diri.
3. Mahasiswa memahami teori
tentang konsep diri.
4. Mahasiswa mengetahui
ciri-ciri siswa yang memiliki konsep diri.
5. Mahasiswa mengetahui
pentingnya konsep diri dalam proses belajar.
Manfaat :
Setelah mahasiswa membaca makalah psikologi
olahraga mahasiswa dapat mengetahui bagaimana
pembinaan disiplin,percaya diri dan konsep diri
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DISIPLIN
PERCAYA DIRI
1. Pengertian
Disiplin Percaya Diri
Kehidupan
social adalah kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai. Disiplin seseorang
terlihat dari kesediaan untuk mereaksi dan bertindak terhadap nilai-nilai yang
berlaku, yaitu nilai-nilai yang tertuang atau yang terwujud dalam bentuk
ketentuan, tata-tertib, aturan, tatanan hidup atau kaidah-kaidah tertentu.
Kesediaan
mereaksi dan bertindak terhadap obyek tertentu adalah sikap kejiwaan. Atau “attitude”,
yang sementara orang menyebut sebagai sikap mental. Menurut Fren N.
Kerlinger (1975) sikap kejiwaan selalu dihadapkan pada pilihan menerima
atau menolak, bertindak positif atau negative, dalam hubungannya dengan obyek
tertentu. Menurut Tutko dan Richards (1975) menegaskan bahwa disiplin :
mengutamakan
dan mengatur kondisi fisik
pengembangan penguasaan emosi
menciptakan citra sebagai olahragawan yang sebenarnnya.
2. Perkembangan
Disiplin
Perkembangan
disiplin yang mengandung kepatuhan atau ketaatan pada nilai-nilai, terutama
sekali dimulai sejak masa kanak-kanak, peranan pada orang tua dan linkungan
pergaulan masa kecil sangat besar pengaruhnnya pada perkembangan disiplin anak
selanjutnnya.
Sesuai teori
belajar maka pengaruh pendidikan akan besar terhadap perkembangan sikap dan
tingkah laku manusia. Tiga masalah utama dari jenjang yang dianggap paling
penting adalah:
tidak
adannya disiplin
penggunaan
obat terlarang dan
kurikulum
yang kurang baik
Dalam
olahraga atlet selalu menghadapi pilihan antara melakukan ketentuan sesuai
program latihan yang ditetapkan atau mangkir dari latihan, antara patuh pada
peraturan dan bertindak sportif dengan melanggar peraturan asal dapat
memenangkan pertandingan, dsb-nya.
Dalam
bannyak hal bertentangan batin antara mengutamakan kepentingan pribadi atau
lebih mengutamakan kepentingan umum, merupakan tatangan terhadap kuat-lemahnya
disiplin individu. Motivasi untuk mendapat kepuasan individu apabila tidak
diimbangi dengan motivasi social yang positif dan kuat, dapat menjurus kearah
tindakan yang tidak patuh pada nilai-nilai atau tindakan yang melanggar
disiplin.
3. Disiplin
Semu dan “ self-discipline “
Disiplin
semu adalah disiplin yang tanpak dipemukaan saja, kepatuhan yang dilandasi
disiplin semu tidak dapat bertahan lama, karena disiplin semu terjadi hanya
pada saat pengawasan, disertai rasa takut pada sangsi dan ancaman pelatih tanpa
ada kesadaran. Disiplin sering diartikan dalam kaitanya dengan ancaman dan
hukuman, dari sisi lain disiplin juga erat kaitannya dengan pengawasan atau
control dan proses belajar.
Prinsip
mengontrol diri sendiri merupakan hal yang terpenting dalam disiplin, atlet
yang menunjukan kebiasaan selalu menepati ketentuan, peraturan, dan
nilai-nilai, berarti dapat mengontrol diri-sendiri untuk tidak melanggar
ketentuan dan peraturan ataupun nilai-nilai yang berlaku.Disiplin ada
hubungannya dengan sikap penuh rasa tanggung jawab, karena atlet yang
berdisiplin cenderung untuk menepati, mendukung dan mempertahankan nilai-nilai
yang dianutnnya. Sikap untuk mendukung dan mempertahankan nilai-nilai yang
dianutnnya, atlet akan berusaha untuk tidak mengingkari dan sedapat-dapatnnya
mematuhi.
Sehubungan
dengan itu maka atlet yang disiplin akan setia untuk menepati kebiasaan hidup
sehat, mematuhi petunjuk-petunjuk pelatihnya, setia untuk melakukan
program-program latihan, sehingga memberi kemungkinan lebih besar untuk
mencapai prestasi yang setinggi-tingginnya.
Atlet yang
memiliki disiplin diri sendiri sudah memiliki kesadaran untuk berlatih sendiri,
meningkatkan keterampilan, dan menjaga kondisi fisik dan kesegaran jasmaninnya,
dan dapat menguasai diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
peraturan atau yang dapat merugikan diri sendiri dan lebih lanjut selalu akan
berusaha untuk hidup dan berusaha berbuat sebaik-baiknnya sesuai dengan
citrannya sebagai atlet yang ideal.
Disiplin
yang disertai pemahaman dan kesadaran erat hubungannya dengan sikap penuh
tanggung jawab dan individu yang bersangkutan cenderung berusaha menepati,
mendukung, dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya.rasa tanggung jawab
yang dipatuhi, tidak mengingkari, dan harapan akan kelangsungan nilai-nilai
akang berkembang menjadi sikap hidupnnya sehari-hari.
4. Menanamkan
disiplin
Penanaman
disiplin harus dilakukan terus-menerus, karena disiplin seperti halnnya sikap
menusia lainya, selalu dapat berubah dan dapat dipengaruhi. Dalam upaya
pembinaan atlet kerja sama antara pelatih dengan orang tua atlet sangat perlu.
Cara-cara otoriter dengan paksaan atau hukuman, James Dobson (1986)
mengukakan bahwa aktivitas penuh disiplin harus dilakukan dalam suatu kerangka
kerja penuh cinta-kasih dengan memahami perasaan subyek, rasa hormat dan
tanggung jawab subyek merupakan hasil cinta-kasih dan disiplin.
Penanaman
disiplin harus dilandasi pengertian pokok mengenai disiplin, yang intinnya
menanamkan kepatuhan yang didasarkan atas pemahaman dan kesadaran, serta
tanggung jawab.
Menurut Robert
S Ellis (1956) membedakan perkembangan disiplin yang ditanamkan dengan
pengawasan yang ketat, paksaan dan hukuman yang sewajarnya, Menanamkan disiplin
tidak harus dengan tindakan otoriter ataupun kekerasan.
Disiplin
menurut Robert S Ellis membedakan 2 pengertian, yaitu disiplin “under-control”
: disiplin dengan pengawasan dari luar, yang sedikit menjadi disiplin,
sedangkan disiplin “self control” yaitu disiplin yang didasarkan atas
penguasaan diri untuk tidak melanggar ketentuan dan peraturan, sesudah memiliki
pemahaman dan kesadaran untuk selalu patuh pada norma-norma. Menanamkan
disiplin dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk mematuhi dan mendukung
nilai-nilai, ketentuan dan peraturan yang berlaku, serta menumbuhkan rasa harga
diri sebagai atlet yang disiplin, yang mematuhi ketentuan dan nilai-nilai, maka
perlu sekali menanamkan disiplin yang dikaitkan dengan penguasaan diri.
Pelatih yang
berusaha menanamkan disiplin dengan paksaan dan hukuman, sekaligus agar
berwibawa dimata atlet, mungkin dapat menciptakan suasana penuh disiplin, namun
disiplin yang tampak tersebut terbentuk atas dasar rasa cemas dan takut hukuman
semata-mata.
Sebagaimana
ditegaskan Dobson (1986), rasa hormat dan tanggung jawab merupakan hasil
dari cinta-kasih dan disiplin, sedangkan rasa tidak aman sebagian besar
disebabkan oleh tidak kekerasan. Pengawasan bukan dimaksudkan mencari
kesalahan, tetapi lebih ditekankan pada pemanfaatan untuk menujukan hal-hal
yang baik dan yang kurang baik, kemudian memberi kesepakatan pada atlet untuk
lebih memahami, menyadari, dan lebih lanjut menimbulkan dorongan, motivasi
untuk berbuat sesuatu yang membanggakan.
Inti pokok
disiplin pada hakekatnya adalah rasa tanggung jawab dan penguasaan diri,
apabila hal tersebut telah dimiliki oleh atlet, maka ia akan mampu mengatur
dirinya sendiri dan bertindak kearah pada tujuan yang baik dan jauh dari
pelanggaran nilai-nilai, norma-norma dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Menanamkan
disiplin dan membina sikap atlet merupakan bagian dari upaya mendidik atlet
agar memiliki kepribadian yang baik dan sikap-sikap yang positif-kontrukstif.
Peraturan-peraturan
dan tata tertib merupakan hal yang sangat perlu untuk menegakan disiplin, agar
peraturan, serta tatatertib betul-betul menjadi milik bersama. proses
penyusunan peraturan dan ketentuan tersebut perlu diperhatikan keterlibatan
para Pembina, pelatih dan atlet.
Masalah-masalah rumit yang dialami manusia, seringkali
dan bahkan hampir semua, sebenarnya berasal dari dalam diri. Mereka tanpa sadar
menciptakan mata rantai masalah yang berakar dari problem konsep diri. Dengan
kemampuan berpikir dan menilai, manusia malah suka menilai yang macam-macam
terhadap diri sendiri maupun sesuatu atau orang lain – dan bahkan meyakini
persepsinya yang belum tentu obyektif. Dari situlah muncul problem seperti
inferioritas, kurang percaya diri, dan hobi mengkritik diri sendiri.
Artikel berikut akan mengulas tentang konsep diri, apa
dan bagaimana konsep diri berpengaruh terhadap munculnya problem yang dialami
manusia sehari-hari.Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa
pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman
dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
konsep diri yang terbentuk.
Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan
menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu,
seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan
negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep
diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya : suka
memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap
tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb - dianggap sebagai
hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi anak
menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan.
Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa
dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif.
Konsep diri
ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada
aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang
mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa
dirinya pandai dan selalu berhasil mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika
dia mendapat angka merah. Bisa saja saat itu ia jadi merasa “bodoh”, namun
karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai.
A. Konsep Diri
1. Pengertian konsep diri
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai
keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang
dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa
dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten,
gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap
hidup.
Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung
bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya.
Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun
lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah
sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu
menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain.Sebaliknya
seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh
percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap
kegagalan yang dialaminya.
Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun
lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke
depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan
melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa
yang akan datang.
Dalam usaha
dalam menghindarkan tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka
sosial itu, kiranya perlu sekali untuk sekedar mengetahui bagaimana terjadinya
prasangka sosial dan apa sebab-sebabnya prasangka sosial itu dipertahankan
orang yang sudah berprasangka itu.
Didalam
macam-macam penelitian dan observasi-observasi tampak bahwa misalnya pada
sekolah-sekolah internasional tiada terdapat sedikitpun prasangkan social pada
anak-anak sekolah yang berasal dari bermacam-macam golongan “ras” atau
kebudayaan itu. Mereka baru akan memperolehnnya didalam perkembangannya apabila
mereka bergaul erat dengan orang-orang yang mempunyai prasangka sosial. Dan hal
ini berlangsung dengan sendirinya dan pada taraf tidak sadar melalui
proses-proses imitasi, sugessti, identifikasi dan simpati yang memegang peranan
utama didalam interaksi sosial itu.
Seringkali
diri kita sendirilah yang menyebabkan persoalan bertambah rumit dengan berpikir
yang tidak-tidak terhadap suatu keadaan atau terhadap diri kita sendiri. Namun,
dengan sifatnya yang dinamis, konsep diri dapat mengalami perubahan ke arah
yang lebih positif. Salah satu langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep
diri yang positif yaitu bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri Jangan
abaikan pengalaman positif ataupun keberhasilan sekecil apapun yang pernah
dicapai. Lihatlah talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan
kesempatan untuk mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa Anda dapat
membahagiakan semua orang atau melakukan segala sesuatu sekaligus. You can’t
be all things to all people, you can’t do all things at once, you just do the
best you could in every way....
2. Faktor yang
Mempengaruhi Konsep Diri
Bebetapa
faktor yang dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang,
seperti :
a. Pola asuh
Orang Tua
Pola asuh
orang tua seperti sudah diuraikan di atas turut menjadi faktor signifikan dalam
mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca
oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap
menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan
pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk
dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang
ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.
b. Kegagalan
Kegagalan
yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri
sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada
kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.
c. Depresi
Terkadang,
mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan
perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi
menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar
keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.
d. Kritik internal
Orang yang
sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam
memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala
situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya,
tidak diundang ke sebuah pesta, maka berpikir bahwa karena saya “miskin” maka
saya tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya
mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan
menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan
orang.
e. Menghargai
diri sendiri
Tidak ada
orang lain yang lebih menghargai diri kita selain diri sendiri. Jikalau kita
tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak dapat melihat kebaikan yang ada pada
diri sendiri, tidak mampu memandang hal-hal baik dan positif terhadap diri,
bagaimana kita bisa menghargai orang lain dan melihat hal-hal baik yang ada
dalam diri orang lain secara positif? Jika kita tidak bisa menghargai orang
lain, bagaimana orang lain bisa menghargai diri kita ?
f. Jangan
memusuhi diri sendiri
We are what
we think. All that we are arises with our thoughts. With our thoughts, we make
the world (The Buddha). Jadi, semua itu banyak tergantung pada cara kita
memandang segala sesuatu, baik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi,
kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga.
g. Berpikir
positif dan rasional
Peperangan
terbesar dan paling melelahkan adalah peperangan yang terjadi dalam diri
sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan
merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal
dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul
kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam serta makin lemah dan negatif
konsep dirinya.
3. Terjadinya
prasangka sosial
Terjadinya
prasangka social semacam ini juga disebut pertumbuhan prasangka sosil dengan
tidak sadar dan yang berdasarkan pada kekurangan pengetahuan dan pengertian
akan fakta-fata kehidupan yang sebenarnnya daripada golongan-golongan orang
yang dikenakan itu.
Suatu factor
lainya yang lebih sadar dan yang dapat mempertahankan serta memupuk prasangka
social yang gigih, ialah faktor kepentingan prseorangan atau golongan tertentu,
yang akan memperoleh keuntungannnya, atau rezekinnya, apabila mereka memupuk
prasangka sosial itu prasangka sosial itu seperti yang diuraikan oleh A.M.
Rose (14) dalam brosur Unesco : The rots of prejudice 1951,
prasangka sosial dengan demikian digunakan untuk mengeksploitasi
golongan-golongan lainnya demi kemajuan perseorangan atau golongan sendiri. Hal
ini tampak pada penjajahan diman akaum penjajah menggunakan dan memupuk
prasangka-prasangka sosial antara golongan-golongan yang dijajah demi
keselamatan kelompoknnya sendiri (devide et impera).Prasangka sosial
terhadap golongan yang lain menimbulkan halangan-halangan dalam pergaulan antar
golongan dan kemudian dapat memecah belah kerja sama yang wajar antar golongan
tersebut.
4. Ciri pribadi
orang berprasangka
Pekembangan
prasangka sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor ekstern pribadi orang,
tetapi terdapat pula beberapa faktor inter diri pribadi orang yang mempermudah
terbentuknnya prasangka sosial. Menurut beberapa penyelidikan psikologis,
terdapatlah beberapa ciri-ciri pribadi orang Yang mempemudah bertahannya
prasangka sosial antara lain tidak toleran, kurang mengenal akan dirinnya
sendiri, kurang berdaya cipta tidak merasa aman memupuk hayalan-hayalan yang
agresif.
5. Usaha
mengurangi prasangka sosial
Dalam
usaha-usaha memerangi prasangka sosial antar golongan itu kirannya jelas bahwa
harus dimulai pada didikan anak-anak dirumah dan disekolah oleh orang tua dan
gurunnya.
Bagi bangsa
kita ini, yang sejak kemerdekaanya telah mengalami pahitnnya beberapa
pemberontakan yang sebagian besarnnya turut disebabkan, mungkin satu-satunnya
disebabkan oleh adannya prasangka sosial, karena masih terdapat akar-akar
prasangka sosial antar golongan akibat zaman kolonial dan bangsa kita yang
menhadapi asa depan yang besar apabila seluruh potensi masyarakat dapat
berkembang tanpa prasangka sosial antar golongan, kirannnya patut lebih
berkenalan dengan gejala-gejala “prasangka sosial” serta sebab-sebabnnya.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Psikilogi
olahraga sangat penting dalam disiplin pengendalian diri. Karena bannyak hal
bertentangan batin antara mengutamakan kepentingan pribadi atau lebih
mengutamakan kepentingan umum, merupakan tatangan terhadap kuat-lemahnya
disiplin individu. Oleh karena itu sebagai seorang atlet bisa memiliki disiplin
dan pengendalian diri baik dalam olahraga maupun dalam bermasyarakat.
2.
Saran
Penanaman
disiplin dalam buku psikologi olahraga harus dilandasi pengertian pokok
mengenai pengendalian diri dan disiplin, yang intinnya menanamkan kepatuhan
yang didasarkan atas pemahaman dan kesadaran, serta tanggung jawab.
Komentar
Posting Komentar